jump to navigation

Menjaring Pemimpin Pancasilais Januari 10, 2011

Posted by komitenasionalindonesia in Uncategorized.
trackback

Oleh: Aliansi Nasional

Sejak Orde Baru menempatkan Pancasila sebagai azas tunggal dengan dalih mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, namun dalam praktiknya semua kebijakan yang dikeluarkan bertentangan dengan dasar negara tersebut. Maka, ketika rezim Suharto tumbang, Pancasila terkena dampaknya. Bahkan, sangat merugikan eksistensi ideologi negara yang dicetuskan Bung Karno, 1 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).

Hal ini diungkap Mun’im DZ Wakil Sekjen PB NU dalam diskusi reguler yang diselenggarakan Aliansi Nasional yang didukung: Lembaga Kajian dan Konsultasi Masyarakat (LKKM) Fisip Untag ’45 Jakarta, Komite Nasional Indonesia (KNI) dan Laksamana Merah Putih, 7 Januari 2011 Wisma Daria, Jakarta Selatan.

“Pancasila harus diletakan secara filosofis, historis dan praksis”, ujar Karyono koordinator dan jurubicara Aliansi Nasional. “Untuk itu kita memerlukan pemurnian terhadap Pancasila dari pelbagai penyimpangan yang berlangsung selama ini,” demikian Wakil Sekjen PB NU menambahkan.

Bagaimana caranya? Menurut Mun’im diperlukan penggalian sejarah pemikiran Indonesia modern yang digagas sejak masa pergerakan nasional. Pemikiran para tokoh semasa itu, dari mulai H.O.S. Tjokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Bung Karno, Hatta, dan generasi semasanya itu, harus menjadi kurikulum pendidikan nasional.

“Ketika dunia pendidikan nasional kita abai terhadap pemikiran para tokoh pergerakan nasional yang telah meletakan dasar-dasar Indonesia modern, qua jati diri bangsa,  maka mustahil menempatkan Pancasila secara filosofis, historis dan praksis”, imbuh Mun’im.

Mun’im menilai bahwa selama ini Pancasila sekadar gincu kekuasaan. Niscaya dibutuhkan kekuatan kultural untuk mengawal, mensosialisasikan dan menegakan Pancasila. Dengan begitu, kekuasaan yang menggunakan Pancasila sebagai kedok, akan mengalami desakralisasi dan wibawanya pun pudar dihadapan rakyat. Demikian kesimpulan yang bisa diangkat dari Forum Aliansi Nasional.

Sementara, Hendrajit dari Komite Nasional Indonesia yang memimpin jalannya diskusi, menambahkan, “Secara pragmatis (jangka pendek) kita harus melakukan konsolidasi demokrasi, yaitu menjaring kekuatan massa dan tokoh yang berani mengamalkan Pancasila, tanpa upaya ini apa yang kita lakukan sekarang,  sia-sia.”

Menurut Karyono, Aliansi Nasional telah membentuk Panitia Kecil yang  memantau dan melakukan investigasi terhadap basis massa dan tokoh-tokoh yang memiliki kecenderungan Pancasilais, dalam arti filosofis, historis dan praksis. Hal ini dilakukan  untuk menghadapi pelbagai peristiwa dan kemungkinan yang akan terjadi, seperti pergeseran kekuasaan yang belum pada waktunya.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar