jump to navigation

Demokrasi Instant, Lanjutkan? Juni 1, 2009

Posted by komitenasionalindonesia in Komunikasi, Politik.
trackback

Oleh: Girry Gemilang Sobar

Beberapa waktu yang lalu tersiarlah di media televisi, Iklan salahsatu capres dengan versi dari Sabang sampai Merauke, dengan menggunakan salahsatu jingle yang dimiliki oleh produk mie instant dengan prestasi top of mind product dari penilaiannya brand-nya. Jika kita amati secara teliti maka pesan yang disampaikan kurang lebih bisa dikorelasikan dengan banyak hal dalam kehidupan nyata.

Keterlibatan Mike Idol mengingatkan kita pada ajang kontestasi artis bidang tarik suara. Ajang kontes menjadi tren di Indonesia, seperti pemilihan putri Indonesia, Indonesia Idol. Belakangan memang trend Idol, ditujukan untuk mencari talenta di bidang seni seperti band dan penyanyi. Ribuan orang peminat dari seluruh Indonesia bersaing untuk menjadi yang terbaik. Maka terpilihlah beberapa nama seperti Ikhsan, Mike dan lain-lain, yang kini lebih dikenal sebagai artis penyanyi di Indonesia. Dalam prosesnya pemilihan tersebut memang melibatkan paartisipasi publik untuk menguji kompetensi mereka, tapi belakang terbuka sedikit demi sedikit berbagai kerancuan dan keanehan ajang kompetisi dimaksud. Karena mereka terpilih melalui polling melalui sms yang dikirim publik. Bukan itu saja, pihak penyelenggara juga terkesan men-design atau mengarahkan kepada satu nama untuk menjadi pemenang, dengan latar belakang ekonomi dan pertimbangan lainnya. Contoh kegagalan penyelenggara Indonesia Idol, adalah Aris yang berasal dari lingkungan pengamen yang terjebak pada eforia keartisan yang cenderung menjadikan dia tidak total di bidang bersangkutan.

Mike Idol merupakan hasil dari polling publik. Dimana tren polling juga sudah merambah dunia politik melalui polling-polling yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei politik yang mengklaim menjadi salahsatu faktor pendukung utama dalam kontestasi politik, dari pemilihan kepala daerah, pemilihan partai politik hingga pemilihan presiden 2009 ini. Tanpa sedikit keraguan dari publik, bahkan para pelaku politik pun takjub dengan polling. Sehat kah demokrasi kita jika proses demokrasi hanya ditentukan kemenangannya hanya dengan polling? Bisa jadi publik dan pelaku politik, paling tidak sudah menganggap polling menjadi tolak ukur dalam kemenangan politiknya, tetapi dimana unsur uji kompetensi dan kelayakannya? Memang politik lebih menganut pada teori kecenderungan, dimana hasil polling menjadi tolak ukur keberhasilan tanpa ada usaha memberikan pendidikan politik yang baik di Indonesia.

Salahsatu faktor hasil polling, lagi-lagi terkait dengan masalah kepopuleran semata, karena figur yang cantik (red. mirip-mirip artis sinetron), baik tutur katanya dan polesan citra lainnya. Padahal dibalik kepopuleran tersebut hanya menghasilkan kemenangan yang semu atau tidak mengakar.

Terlepas dari unsur kreatif atau tidak, yang jelas banyak sekali pesan yang benar-benar semu. Diantaranya publik sudah melekat dengan produk mie instant, dengan tujuan capres yang diusung pun memiliki harapan sebagai tokoh yang melekat di hati pemilihnya. Tapi jika dikaitkan dengan hal-hal yang berbau instan, sudah pasti akan menghasilkan kebijakan yang instan juga. Instan karena ketokohannya bersifat semu dan program yang dijanjikan cenderung semu, karena polesan pencitraan yang sangat dangkal. Bisa juga ditafsirkan bahwa produk tersebut merupakan jawaban dari situasi ketahanan pangan yang ada, misalnya karena mahalnya makanan pokok seperti beras atau memang Indonesia saat ini tengah mengalami kelangkaan beras, karena stok beras kita berkurang akibat ekspor beras.

Jika logika bisnis ini yang digunakan, tentunya sangat menguntungkan pihak produsen mie instant karena pelaku usaha di sektor usaha yang bersangkutan memiliki harapan yang besar terhadap calon presiden dimaksud. Tetapi hal ini juga sangat bertentangan dengan iklim usaha kita, karena produsen tersebut merupakan produsen yang mendominasi industri bersangkutan. Produsen yang dominan tentunya memiliki kelemahan, selain melakukan hambatan kepada pesaing usaha yang potensial dengan merusak pasar pada sektor bersangkutan. Pasar yang rusak akan mengakibatkan iklim investasi yang tidak sehat, sehingga investasi menjadi enggan untuk masuk kedalam pasar bersangkutan karena dominasi pelaku usaha yang juga memiliki kedekatan dengan salahsatu calon presiden.

Demikian halnya dengan demokrasi instan yang ditawarkan dalam pesan iklan tersebut, jika demokrasi tersebut instant tentunya berdampak pada tidak sehatnya bangsa ini di berbagai sektor. Lanjutkan?

Komentar»

1. izzyegha - Juni 1, 2009

ya harusss


Tinggalkan komentar