jump to navigation

Pendidikan Nasional Di Tengah Krisis Konstitusi-Ketatanegaraan Mei 15, 2009

Posted by komitenasionalindonesia in Pendidikan.
trackback

Oleh: Giat Wahyudi

Berbeda dengan Prof. Dr. Soedijarto, M.A. dalam bukunya Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita (Kompas, 2009) yang mengapresiasi anggaran pendidikan nasional 20 persen sebagaimana termaktub dalam perubahan UUD 1945. Hal ini, bukan berarti saya tidak setuju perubahan UUD 1945 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 37, ayat 1 dan 2.[1]

Dalam pada itu, ketika Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) beberapa waktu lalu, memperkarakan anggaran pendidikan sebagaimana dimaksud dalam perubahan UUD 1945, Pasal 31, ayat (4) ke Mahkamah Konstitusi, sebagai jurnalis –saya mempertanyakan dua perkara. Pertama, apa artinya pemenuhan anggaran pendidikan nasional 20 persen bila sistem pendidikan nasional tidak jejak di atas jatidiri bangsa? Kedua, bukankah perubahan UUD 1945 meski telah disyahkan oleh MPR RI tahun 2002, masih menuai protes? Padahal, kedudukan undang-undang dasar harus diterima secara bulat oleh setiap warga negaranya,  conditio sine qua non (syarat mutlak yang harus ada) belum terpenuhi.

Terhadap perkara yang pertama, secara ideologi saya akan merujuk  pandangan Ki Hajar Dewantara (KHD). Mengapa? Galibnya, sebagai tokoh pergerakan, anggota BPUPKI dan PPKI yang turut merancang dan menetapkan UUD 1945; niscaya, KHD  mengetahui secara persis cita pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 31, ayat (1) dan (2).

Menurut KHD, pendidikan adalah usaha untuk membangun kebudayaan. Dalam pada itu, terkait dengan UUD 1945, Pasal 32, bahwa: Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Sedangkan dalam Penjelasan UUD 1945, dikatakan:

Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia seluruhnya.

Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayuaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.

Untuk memahami pernyataan konstitusional di atas, ada baiknya kita telusuri sejenak pemikiran KHD yang dikembangkan Taman Siswa. Menurut Ki Moh. Said, sedikit sekali yang memahami bahwa pendidikan menurut KHD merupakan usaha memajukan kebudayaan.

Hanya sedikit orang mengetahui bahwa Taman Siswa pertama-tama bermaksud merupakan suatu gerakan kebudayaan, dan bahwa sekolah hanya merupakan tempat gerakan ini dapat berjalan paling giat, satu sarana yang paling baik untuk mewujudkan gagasan Taman Siswa dalam masyarakat. Maka tiap sekolah Taman Siswa bercita-cita menjadi pusat kebudayaan.

Taman Siswa mulai berpikir dari fakta, bahwa manusia karena sifat kemanusiannya merupakan pencipta kebudayaan, dan dari keyakinan bahwa seorang manusia telah terpanggil sebagai pencipta kebudayaan untuk mengungkapkan apakah ia sebenarnya, dan dengan demikian ia memenuhi arti keberadaannya (Giat Wahyudi, hal: 70, 2007).

Bagaimana desain (strategi) kebudayaan menurut konsepsi pemikiran KHD?

Tampaknya, Penjelasan UUD 1945 mengacu pada apa yang dimaksud KHD dengan asas Trikon, yaitu: suatu kebudayaan harus memiliki benang merah (kontinu) dengan perjalanan sejarah suatu bangsa dan atawa masyarakatnya; selain itu suatu kebudayaan harus mampu beradabtasi (konvergensi: menerima, menyaring dan memberi) dengan nilai-nilai kebudayaan yang datang dari luar lingkungannya (kebudayaan asing); pada akhirnya suatu kebudayaan harus bersinggungan dengan pergaulan internasional (konsentris dalam kesejagatan semesta) tanpa kehilangan indentitasnya.

Dengan memanfaatkan titik kontinu (akar dari tradisi yang ada), perkembangan kebudayaan berjalan sinambung tanpa harus tercerabut dari lingkungan sosialnya. Namun, tetap terbuka dengan pengaruh luar yang bisa membawa kemajuan dan meningkatkan derajat kebangsaan yang akan dikembangkan. Hanya dengan cara ini, kebudayaan nasional secara mantap bergerak dinamis ke-titik konsentris (kesejagatan semesta), tanpa kehilangan jati diri. Demikian, tiga asas Trikon: kontinu, konvergen dan konsentris sebagai desain kebudayaan nasional.

Maka, ahistoris belaka, membangun pendidikan nasional dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan, Pasal 31, ayat (1) dan (2) zonder memperhatikan Pasal 32 dan Penjelasan UUD 1945 via pemikiran KHD. Dalam buku karya Prof. Dr. Soedijarto, M.A. Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita, yang sedang kita bahas di sini, pemikiran KHD kurang mendapat perhatian yang saksama. Meski, dalam banyak hal pemikiran yang dilontarkan Prof. Dr. Soedijarto, M.A, bercorak nasional atawa bertema kebangsaan yang bersulur dari pidato lahirnya Pancasila oleh Bung Karno, 1 Juni 1945.

II

Di muka telah dikatakan, ada persoalan mengenai perubahan UUD 1945 yang kini (secara politik) menjadi landasan kehidupan benegara pascareformasi. Mempersoalkan perubahan UUD 1945 dewasa ini, dituding anti perubahan dan kemajuan. Bahkan, dinilai hendak memutar jarum sejarah kebelakang. Ini pandangan kaum sinister, tidak berpokok pada kaidah teori konstitusi.

Menurut teori konstitusi, UUD 1945 tergolong undang-undang dasar yang rijid dan tegar. Lantaran itu, cara mengubahnya pun tidak sama dengan cara membuat undang-undang dan atawa aturan yang ada di bawahnya. Dalam telaah guru besar hukum tata negara Universitas Pajajaran Bandung, Sri Sumantri, perubahan UUD 1945 harus diselenggarakan melalui Sidang Khusus, di luar sidang ini tidak syah (Sri Soemantri, hal: 256, 2006). Sedangkan perubahan UUD 1945 yang dilakukan sebanyak empat kali, tidak mengindahkan ketentuan tersebut.

Tentang hal ini, secara khusus, sebagai seorang jurnalis, saya berkesempatan menelisik risalah sidang MPR RI tahun 1999 – 2002, hasilnya, terdapat sembilan temuan, yaitu:

  1. Susunan dan kedudukan MPR RI periode 1999 – 2004 melanggar UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) Jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 1999;
  2. Pimpinan MPR RI  melanggar Undang-Undang No. 4 Tahun 1999, Pasal 10 Jo. Tata Tertib MPR RI Tahun 1998, Pasal 21;
  3. Pimpinan BP MPR RI melanggar Undang-Undang No 4 Tahun 1999, Pasal 10 Jo. Tata Tertib MPR RI Tahun 1998, Pasal 42;
  4. BP MPR RI/PAH III/Komisi C tidak mendapat perintah melalui Tap MPR RI untuk melakukan perubahan UUD 1945;
  5. Bentuk putusan Majelis berupa perubahan undang-undang dasar, tidak dikenal dalam tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia;
  6. Sidang Tahunan MPR RI tidak mengatur perubahan undang-undang dasar;
  7. Naskah perubahan UUD 1945 tidak berderajat tinggi;
  8. Pengundangan dalam Lembaran Negara (LN) baru dilakukan 13 Februari 2006;
  9. Kajian komprehensif  Komisi Konstitusi tidak ditindaklanjuti.

Sembilan temuan ini telah disusun dalam buku bertajuk: Perubahan UUD 1945 Tahun 1999 – 2002 Makar Terhadap Negara (Menata Kembali Konstitusi Indonesia) dengan Kata Pengantar Prof. DR. H.R. Sri Soemantri M, SH. Penerbit Kaukus Parlemen Pancasila DPR RI dan Yayasan Ayo Bersatu, 2009.

Mengingat dan menimbang, bahwa setiap produk hukum terkait di dalamnya ada hukum formal dan hukum material, yaitu: prosedur dan substansi yang tidak boleh dilanggar dan bertentangan satu sama lain. Maka, ditinjau dari sisi prosedur, perubahan UUD 1945 cacat hukum. Dalam pada itu, substansi atawa materi yang dihasilkan tidak sah.

Tentang hal ini, secara teoritis pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia Hardjono telah membukukan tesisnya dengan, fokus: legitimasi perubahan konstitusi, menyoal perubahan UUD 1945. Paparan kajiannya menempatkan perubahan UUD 1945 melanggar prosedur dan cacat hukum.

Memang, belakangan ini ada pendapat bahwa cacat prosedur dan atawa melanggar prosedur tidak serta merta membatalkan hasil dan atawa putusan. Pendapat ini acap digunakan untuk mendukung perubahan UUD 1945 yang cacat hukum. Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana dengan kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang berfungsi mengadili kebijakan (putusan) pemerintah dari sisi prosedur? Mengapa PTUN tidak dibubarkan saja, bila suatu putusan melanggar prosedur tetap dianggap sah.

Apa artinya semua ini? Kedudukan perubahan UUD 1945 lemah secara hukum. Namun, mendapat dukungan kuat secara politik dari pemerintah, MPR RI, DPR RI, DPD, MA. MK, KY dan lembaga-lembaga negara lainnya; termasuk partai-partai politik yang tengah sempoyongan diterpa DPT bodong dan kisruh Pemilu 2009.

Meski perubahan UUD 1945 mendapat dukungan kuat secara politik. Namun, menyimpan “magma krisis” yang setiap saat bisa meletus. Perhatikan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mencantumkan tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia, nyata, tidak menempatkan perubahan UUD 1945 sebagai bentuk peraturan dalam tata urutan perundang-undangan yang berlaku di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal, dalam Tata Tertib MPR RI Tahun 2004, ada dua bentuk putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum setara, yaitu: Undang-Undang Dasar dan Perubahan Undang-Undang Dasar.

Dengan tidak diundangkannya Perubahan UUD 1945 dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Maka, perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat UUD 1945 tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsekuensinya, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi segenap warga negara di wilayah hukum NKRI. Demikian, kita tengah berada di wilayah krisis konstitusi-ketatanegaraan.

III

Bukan out of focus, bila dalam diskusi buku  yang bertajuk Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita, menyoal proses dan prosedur perubahan UUD 1945. Pasalnya, penulis buku ini  banyak merujuk pasal-pasal dan ayat-ayat dari perubahan UUD 1945 berserta derivasi peraturan yang ada di bawahnya.

Maksudnya bisa dipahami, bahwa arah pendidikan nasional harus berlandaskan pada konstitusi, sehingga mempunyai kedudukan yang kuat.  Sementara, secara prosedural, perubahan UUD 1945 yang kedudukannya oleh MPR RI disetarakan dengan undang-undang dasar, ditemukan cacat prosedur dan tidak syah.

Sejatinya, butir-butir pemikiran pendidikan yang dilontarkan Prof. Dr. Soedijarto, M.A. dalam buku ini sangat berguna dan bisa dijadikan rujukan bagi pengembangan sistem pendidikan nasional. Namun (untuk sementara?), tidak berpokok pada akar tunggang (konstitusi yang rijid dan tegar). Melainkan, dicangkokan pada akar serabut (konstitusi yang tidak berderajat tinggi ). Seumpama  pohon dengan akar serabut, maka, mudah tercerabut bila diterpa angin kencang, apalagi puting beliung.

Analogi di atas, mencoba menjawab pertanyaan, mengapa sistem pendidikan nasional yang mencerdaskan kehidupan bangsa, masih belum bisa berjalan? Meski, telah mendapat dukungan dari perubahan UUD 1945 yang menempatkan sekurangnya 20 persen dari anggaran belanja negara bagi dunia pendidikan. Bisa jadi, perkaranya, kedudukan hukum dari perubahan UUD 1945 masih bermasalah secara prosedural. Bahkan, telah menimbulkan krisis konstitusi-ketatanegaraan. Lantaran itu,  kehidupan konstitusional pun menjadi gamang dan ambigu. Bukankah, ketika pemerintah tidak mampu menjalankan amanat konstitusi seperti memenuhi 20 persen anggaran pendidikan, parlemen sudah bisa melakukan impeachement terhadap presiden.

Memang, untuk sementara angin masih sepoi-sepoi; layaknya anging mamiri.  Tapi, apa yang akan terjadi, bila kisruh Pemilu 2009 tidak bisa diatasi dan gagal membentuk rezim pemilu yang stabil? Tak pelak, kisruh Pemilu 2009 pun merupakan  bagian tak terpisahkan dari krisis konstitusi-ketatanegaraan.

Daftar Pustaka:

  1. Prof Drs. C.S.T. Kansil, SH, Christine S.T. Kansil,SH.,M.H, Memahami Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU No 10 Tahun 2004), Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.
  2. Giat Wahyudi, Sketsa Pemikiran Ki Hajar Dewantara, LKKM Fisip Untag 45 Jakarta, 2007.
  3. ____________, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Tahun 1999 – 2002 Makar Terhadap Negara (Menata Kembali Konstitusi Indonesia), Kaukus Parlemen Pancasila DPR RI dan Yayasan Ayo Bersatu, Jakarta, 2009.
  4. Hardjono,SH,MH.,M.Fil, Legitimasi Perubahan Konstitusi Kajian Terhadap UUD 1945, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009.
  5. KH. Dewantara, Bagian pertama: Pendidikan, Majelis Luhur Taman Siswa, Yogyakarta 2004.
  6. ____________, Bagian II: Kebudayaan, Majelis Luhur Taman Siswa, Yogyakarta,  1994.
  7. Prof. Dr. Soedijarto, M.A, Landasan Dan Arah Pendidikan Nasional Kita, Kompas, Jakarta, 2009.
  8. Prof. Soegarda Poerbakawatja, Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka, Gunung Agung, Jakarta, 1970.
  9. Prof. DR.H.R.Sri Soemantri M. SH, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, PT Alumni, Bandung, 2006

Catatan kaki:

[1] Esai Pendidikan Kewarganegaraan, disampaikan dalam acara bedah buku karya Prof. Dr. Soedijarto, M.A. Judul: Arah dan Landasan Pendidikan Nasional Kita, Kompas, Jakarta, 2009. Penyelenggara Komisariat GMNI Fakultas Tarbiyah dan Pendidikan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 12 Mei 2009.

[2] Wartawan/Kolomnis. Penulis buku: Sketsa Pemikiran Ki Hajar Dewantara Membangun Kembali Sistem Pendidikan Nasional, LKKM Fisip Untag ’45 Jakarta, 2007 dan Perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2002 Makar Terhadap Negara (Menata Kembali Konstitusi Indonesia), Kaukus Parlemen Pancasila  dan Yayasan Ayo Bersatu, Jakarta, 2009. Pendiri dan aktif dalam Komite Nasional Indonesia.

[3] Mengenai perubahan UUD 1945 lihat Sri Soemantri, hal: 256, 2006. Bandingkan dengan Giat Wahyudi, hal: 81-95, 2009 dan Hardjono, hal: 201-213, 2009.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar