jump to navigation

SUATU IHTISAR: Beberapa Temuan (yang membuat) Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 Tidak Syah April 11, 2009

Posted by komitenasionalindonesia in Ketatanegaraan.
trackback

Beberapa Temuan yang layak menjadi pertimbangan, bahwa Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 batal demi hukum dan mengakibatkan krisis konstitusi/krisis ketatanegaraan, sebagaimana dipaparkan dalam buku: Perubahan UUD 1945 Tahun 1999-2004 Makar Terhadap Negara (Menata Kembali Konstitusi Proklamasi) karya Giat Wahyudi, akan segera terlihat dalam ihtisar ini:

TEMUAN KE 1

Susunan Dan Kedudukan MPR-RI

Menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1998*

tab11 *Undang-Undang No. 4 tahun 1999 merupakan perintah UUD 1945 Khususnya Pasal 2 ayat (1)

Susunan Dan Kedudukan MPR-RI

Periode 1999-2004**

tab21

TEMUAN KE 2

Tata Cara Membuat putusan MPR RI

(Sebagaimana diatur Tata Tertib MPR RI Tahun 1998)

Pasal 98

(1) Bentuk-bentuk putusan Majelis adalah:

  1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  2. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

(2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis.

(3) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah putusan Majelis yang

mempunyai kekuatan hukum mengikat ke dalam Majelis.

Pasal 99

Pembuatan putusan Majelis dilakukan melalui empat tingkat pembicaraan, kecuali untuk laporan pertangungjawaban Presiden/Mandataris dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh Majelis.

Pasal 100

Tingkat-tingkat pembicaraan seperti yang disebut Pasal 99 tersebut di atas adalah:

Tingkat I

Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap bahan-bahan yang masuk dan hasil pembahasan tersebut merupakan rancangan putusan Majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan tingkat II

Tingkat II

Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang didahulkui oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan Pemandangan Umum Fraksi-fraksi

Tingkat III

Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis terhadap semua hasil pembicaraan Tingkat I dan II. Hasil pembahasan pada Tingkat III ini merupakan rancangan putusan Majelis.

Tingkat IV

Pengambilan Putusan oleh Rapat Paripurna Majelis setelah mendengar laporan Pimpinan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis bila mana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.

Dalam Menerbitkan Tap MPR RI No.1/MPR/1999 mengenai Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI yang sebelumnya diatur dalam Tap MPR RI No. VII/MPR/1998, ternyata MPR RI periode 1999-2004 melanggar tatacara sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR RI Tahun 1998, Pasal 99 dan Pasal 100 sebagaimana dikutip di atas.

MENGAPA?

Ketika Majelis merumuskan dan memutuskan Ketetapan MPR RI tersebut (tertanggal 2 Oktober 1999), Fraksi-fraksi dan Badan Pekerja MPR RI belum dibentuk. Ke dua alat kelengkapan Majelis tersebut dibentuk pada 3 Oktober 1999 untuk Fraksi-fraksi di MPR dan 4 Oktober 1999 untuk Badan Pekerja MPR.

Selain itu, khusus untuk mengubah Peraturan Tata Tertib MPR telah diatur dalam:

Pasal 119

(1) Usul perubahan dan tambahan mengenai Ketetapan ini (Tap MPR mengenai Peraturan Tata Tertib MPR RI –dalam kurung penjelasan dari penulis) dapat diusulkan oleh sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) orang Anggota yang ditandatangai oleh Pimpinan Fraksinya;

(2) Usul perubahan dan tambahan dalam pasal ini, ditandatangani oleh pengusul dan disertasi dengan penjelasan. Setelah diberi nomor pokok dan diperbanyak oleh Sekretariat Jenderal disampaikan kepasa Badan Pekerja Majelis.

Sementara, MPR RI Periode 1999-2004 dalam mengubah Tap MPR RI No. VII/MPR/1998 mengenai Peraturan Tata Tertib MPR RI, melakukannya cukup dengan membentuk Panitia 11 yang sama sekali tidak diatur dalam Tata Tertib MPR RI Tahun 1998.

Padahal, Tata Tertib MPR RI No. 1/MPR/1999 mengenai Perubahan Peraturan Tata Tertib MPR RI yang sebelumnya diatur dalam Tap MPR RI No. VII/MPR/1998 merupakan landasan/rujukan bagi Keputusan MPR No. 2/MPR/1999 Tentang Fraksi-fraksi MPR RI; Keputusan MPR No. 3/MPR/1999 tentang Pimpinan MPR RI; Keputusan MPR No. 7/MPR/1999 tentang Pembentukan Badan Pekerja MPR RI dan beberapa keputusan lainnya. (Lihat Lampiran).

Pastinya, substansi/materi Keputusan MPR RI No.3/MPR/1999 mengenai Pimpinan Majelis bertentangan/melanggar UUD 1945, Pasal 2 ayat (1) Jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mengenai Susunan dan Kedudukan MPR RI, DPR RI dan DPRD, Pasal 9 dan Peraturan Tata Tertib MPR RI No VII/MPR/1998, Pasal 21. Sedangkan Susunan Pimpinan Badan Pekerja Majelis bertentangan/melanggar UUD 1945, Pasal; 2 ayat (1) Jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pasal 10 dan Peraturan Tata Tertib MPR Pasal 42; lihat Petikan di bawah ini:

Undang-Undang No. 4 Tahun 1999

Pasal 9

(1) Pimpinan MPR terdiri atas seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah Anggota fraksi.

….

Pasal 10

(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang MPR, Pimpinan MPR membentuk Badan Pekerja MPR.

(2) Susunan Anggota, tugas dan wewenang Badan pekereja MPR diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR.

Tata Tertib MPR RI Tahun 1998

Pasal 21

Pimpinan Majelis terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya lima orang Wakil Ketua yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi.

Pasal 42

(1) Badan Pekerja Majelis dipimpin oleh unsur Pimpinan Fraksi Utusan Daerah sebagai Ketua dan dibantu oleh sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh Anggota Tetap Badan Pekerja Majelis yang mencerminkan fraksi-fraksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

….

Tampak jelas, antara Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pasal 9 dan Pasal 10 selaras dengan Peraturan Tata Tertib MPR RI Tahun 1998, Pasal 21 dan 42.

Dalam praktiknya, Pimpinan MPR RI terdiri atas satu orang Ketua dan tujuh orang Wakil Ketua. Sedangkan Badan Pekerja Majelis dijabat rangkap oleh Ketua MPR RI. Seperti termaktub dalam Tap MPR No. 1/MPR/1999 tentang Perubahan Kelima Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Pasal 21 dan Pasal 42. Seperti telah dipaparkan, proses perumusan Ketetapan Majelis seperti ini, bertantang/melanggar Peraturan Tata Tertib MPR RI Tahun 1998, Pasal 100 dan 119.

Berdasarkan temuan ke 1 dan ke 2, Susunan dan Kedudukan MPR RI Periode 1999-2004 melanggar tata hukum yang berlaku, sebagaimana dijelaskan di atas. Berarti kedudukan MPR RI periode 1999-2004 ilegal. Dengan demikian, semua putusan MPR RI batal demi hukum.

Akan hal itu, secara hukum, UUD 1945 (naskah asli) masih berlaku walau tidak mendapat dukungan politik dari penguasa (lembaga-lembaga negara) yang ada. Namun, masih menjadi acuan bagi masyarakat pada umumnya. Setidaknya, masyarakat belum banyak yang mengenal materi perubahan UUD 1945 yang dijalankan melalui kekuasan (politik) belaka.

TEMUAN KE 3

Utusan Daerah sebanyak 130 orang oleh Pimpinan MPR RI tidak dimasukan dalam Fraksi Utusan Daerah. Sebaiknya didistribusikan/diintegrasikan ke beberapa fraksi yang ada, seperti: Fraksi partai-partai politik dan Fraksi Utusan Golongan di MPR RI. Padahal, rekruitmen dan peruntukan terhadap Utusan Daerah berbeda dengan rekruitmen legislator dari partai politik dan Utusan Golongan.

Dalam pada itu, menempatkan Utusan Daerah pada fraksi di luar Utusan Daerah, bertentangan dengan peraturan yang berlaku dan merupakan tindakan yang brutal. Karena ada desakan bertubi-tubi, maka, pada tahun 2001 Fraksi Utusan Daerah dibentuk dengan beranggotakan 46 orang, suatu jumlah yang masih jauh dari apa yang ditetapkan oleh Undang-undang No. 4 Tahun 1998, Pasal 2, yaitu sebanyak 135 orang

TEMUAN KE 4

Sidang Tahunan MPR RI tidak diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR RI Tahun 1998 dan Tahun 1999. Sidang Tahunan MPR RI mulai diatur dalam Peraturan Tata Tertib MPR RI Tahun 2000. Namun, dalam peraturan terebut, Sidang Tahunan MPR RI tidak mengatur/memerintahkan perubahan undang-undang dasar, lihat petikan Peraturan Tata Tertib Tanun 2000 di bawah ini:

Pasal 50

….

(2). Sidang Tahunan Majelis adalah:

a. Sidang yang diselenggarakan setiap tahun sekali di antara dua masa Sidang Umum Majelis pada masa jabatan keanggotan Majelis yang bersangkutan.

b. Sidang yang diselenggarakan untuk mendengarkan dan membahas laporan Presiden dan lembaga tinggi negara lainnya atas pelaksanan putusan Majelis.

c. Sidang yang dapat menetapkan putusan Majelis lainnya.

Pasal 90

(1). Bentuk-bentuk putusan Majelis adalah:

a. Perubahan Undang-Undang dasar;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Tampak sekali, antara kriteria Sidang Tahunan dan bentuk-bentuk putusan Majelis tidak selaras. Galibnya, berdasarkan Tata Tertib MPR RI Tahun 2000, Pasal 50, Sidang Tahunan MPR RI yang diselenggarakan untuk mengubah undang-undang dasar, tidak syah. Keculai bila butir c diubah menjadi: Sidang untuk menetapkan dan mengubah undang-undang dasar dan keputusan Majelis lainnya. Namun, perubahan seperti ini tidak dilakukan.

TEMUAN KE 5

Tata urutan perundang-undangan Republik Indonesia yang sebelumnya diatur dalam Tap MPR RI No. XX/MPRS/1966; Tap MPR No. III/MPR/2000; kemudian diubah sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, tidak menempatkan/mencatumkan bentuk putusan Majelis berupa Perubahan Undang-Undang Dasar seperti diatur dalam Tata Tertib MPR RI Tahun 2000 Pasal 90, sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.

Dengan demikian, Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 sebagai bentuk peraturan tertulis yang dipostulasikan setara dengan UUD 1945, menutut tata urutan perundang-undangan yang berlaku; tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk ditaati oleh segenap rakyat dan bangsa Indonesia dari Sambang sampai Merauke. Lantaran, tata urutan perundang-undangan yang berlaku, tidak mengakui Perubahan Undang-Undang Dasar sebagai bentuk peraturan (konstitusi) di negeri ini.

Berdasarkan temuan ke 1, ke 2, ke 3 dan ke 4 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 sekadar merupakan risalah Sidang Umum MPR RI tahun 1999 dan Risalah Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000, 2001 dan 2002. Maka, tidak memiliki kekuatan hukum apa pun, kecuali dijalankan oleh kekuasaan belaka, seperti yang berlangsung sekarang ini. Ini berarti, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sudah bukan merupakan negara hukum sebagaimana diamantakan Pembukaan UUD 1945. Melainkan, sebagai negara kekuasaan. Mengingat, dalam menegakan aturan bernegara seperti dalam mengubah UUD 1945, MPR RI periode 1999-2004 tidak mengindahkan dan atawa mengabaikan semua bentuk peraturan yang berlaku.

Maka, cukup beralasan, bila perubahan UUD 1945 belum bisa ditrerima oleh sebagian (besar) rakyat Indonesia secara bulat; qonditio sine qua non tidak tercapai. Hal ini telah mengakibatkan krisis konstitusi/krisis ketatanegaraan yang bisa mengakibatkan runtuhnya NKRI. Hal ini mulai nampak, ketika Pancasila sebagai dasar negara diabaikan dalam setiap pengambilan keputusan di lembaga-lembaga negara termasuk pemerintah, kecuali sekadar gincu, semata.

Mengingat negara dalam kedaan krisis konstiusi akibat pelanggaran yang dilakukan oleh MPR RI periode 1999-2004 dalam mengubah UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia memiliki dua konstitusi, yaitu UUD 1945 yang syah secara hukum, namun tidak dijalankan penguasa dan UUD 1945 naskah perubahan yang tidak syah secara hukum, akan tetapi dijalankan penguasa. Maka, untuk mengatasinya:

1. Presiden RI seyogyanya mengeluarkan Maklumat Presiden yang menyatakan: NKRI sesungguhnya dalam keadaan krisis konstitusi/krisis ketatanegaraan, de situatie van het abnormaler recht dan menempatkan Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 sebagai “konvensi” ketatanegaraan yang bersifat sementara dan harus segera diakhiri dengan melakukan re-amandemen terhadap UUD 1945 (naskah asli) dengan teknik addendum oleh MPR RI dalam Sidang Khusus, yaitu Sidang Konstitusi. Bukan dalam Sidang Umum apalagi Sidang Tahunan.

Dalam sidang tersebut, materi Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 dapat dibahas kembali; bila ada yang mengusulkannya. Selain itu, Pemerintah membentuk Komisi Konstitusi untuk menyusun grand design perubahan UUD 1945 (naskah asli) dan menyarankan pada masyarakat untuk membentuk Kaukus Konstitusi. Dengan demikian, re-amandemen UUD 1945 (naskah asli) menyertakan partisipasi masyarakat.

Selama hasil re-amandemen UUD 1945 (nasjah asli) belum ditetapkan MPR RI dan belum diundangkan dalam Lembaran Negara, segala peraturan dan badan-bandan negara yang diatur oleh perubahan UUD 1945 bisa disesuaikan untuk sementara waktu. Hal ini, sesuai dengan UUD 1945 (naskah asli) Aturan Peralihan, Pasal II, bahwa: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

2. Bila Presiden tidak berkenan mengeluarkan kebijakan tersebut, sementara aksi penolakan terhadap hasil perubahan UUD 1945 semakin massif dan intensif serta menimbulkan rechtsbewustzijn, kesadaran hukum rakyat yang demikian tinggi untuk tidak mengakui hasil perubahan UUD 1945. Maka, gerakan ekstra parlementer untuk mencabut Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat UUD 1945 bisa saja akan terjadi. Dalam pada itu, legitimasi lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang ada menurut perubahan UUD 1945, bisa dinon-aktifkan. Tak pelak, jalan revolusi menjadi pilihan.

Komentar»

No comments yet — be the first.

Tinggalkan komentar